Halaman

    Social Items

Visit Namina Blog

TELATAHNESIA - Sehari setelah Film Gundala rilis pada 29 Agustus 2019 lalu, saya penasaran dan menjajal untuk menonton mahakarya sutradara Joko Anwar itu. Awalnya saya tidak menyangka kalau film ini akan ditonton banyak orang, bahkan ketika memesan tiket melalui jasa pemesanan tiket online pun tak menunjukkan bahwa Gundala waktu itu akan ditonton banyak orang. 

Saya memilih nonton sekira pukul 19.15 WIB. Keyakinan saya terhadap sepinya penonton kala itu terasa sekitar beberapa jam sebelum Gundala tayang. Di aplikasi pemesanan tiket yang saya gunakan, nampak kursi penonton masih banyak yang kosong. Ajaibnya, saat saya datang ke bioskop sudah banyak orang yang mengantre di depan pintu studio. Betul saja, ketika pintu sudah dibuka, penonton pun semakin bertambah.

Seperti biasa, walaupun di tiket tertera waktu tayang adalah pukul 19.15 WIB, namun film baru ditayangkan sekitar pukul 19.25 WIB. Keterlambatan semacam ini sudah sering saya alami. Tampilan pertama dibuka dengan gambar-gambar para tokoh di Jagad Bumilangit yang memang sudah disiapkan Joko Anwar dan kolega. Rasa-rasanya baru opening scene-nya saja justru mengajak saya untuk tidak memerhatikan cerita dari film yang akan tayang: Gundala, melainkan agar saya penasaran pada film-film berikutnya.

Tak masalah, karena barangkali Film Gundala hanya dijadikan sebagai pemantik oleh sutradaranya agar film-film berikutnya laris, dan tidak terputus di tengah jalan. Saya sudah tidak perlu lagi menjelaskan soal film ini yang diadaptasi dari tokoh ciptaan komikus berbakat asal Indonesia, Harya Suryaminata. Namun yang sedikit saya sesalkan adalah Film Gundala sangat membosankan di awal. Joko Anwar nampaknya lengah dan kurang memerhatikan agar pononton bisa terkesan sejak pada adegan pertama.

Konflik yang disajikan di awal pun sangat klise, hampir tak ada bedanya dengan FTV atau sinetron Indonesia. Permasalahan anak yang ditinggal ibunya, setelah ayahnya mati kembali dipilih Joko Anwar untuk menjadi konflik di awal, walau sangat membosankan ketika ditonton. Kendati Joko Anwar berdalih kalau garis cerita sengaja disesuaikan dengan komiknya. Namun konflik demikian sangat klise, apalagi sang sutradara mengulang-ulang beberapa adegan. 

Menariknya dalam adegan pembuka film dengan penonton 821 ribuan sampai saat ini itu adalah bagaimana Joko Anwar berhasil memperlihatkan permasalahan yang relevan terjadi antara buruh dan pemilik pabrik. Sancaka alias Gundala (Abimana Aryasatya) terlahir dari rahim kaum proletar, ayahnya (Rio Dewanto) adalah buruh yang berdemo menuntut keadilan dari bosnya. Ironisnya, ayah Sancaka malah tewas saat demo hasil hasutan seorang karibnya sendiri. 

Maaf jika saya sedikit spoiler pada tulisan ini, tapi percayalah bahwa konflik klise semacam itu sering kita jumpai. Meskipun saya tak jelaskan secara detail bagaimana konfliknya, kalian pasti tahu kelanjutan dari secuplik spoiler tadi. Yang jelas selepas kematian ayahnya, Sancaka ditinggal ibunya dan hidup mandiri. Pertemuan dengan Awang kecil (Fariz Fajar) pun saya rasa sudah terlihat sejak trailer Film Gundala dirilis. Siapa Awang juga sudah jelas dan tidak perlu lagi dijelaskan, bahkan Bumi Langit dan Joko Anwar sudah membocorkan semua tokoh-tokoh yang akan hadir di Jagad Bumi Langit atau di Film Gundala. 

Karena itu pula film ini jadi tak menarik, bagaimana mungkin kita menonton film tapi sudah tahu garis ceritanya, bahkan sampai ke film berikutnya? Bagi para maniak film superhero tentu walaupun sudah dibocorkan para pemain dan tokoh-tokohnya, pasti tetap akan menonton. Beda dengan saya yang baru kali ini mau mengikuti kiprah para superhero Jagad Bumi Langit. Agak aneh memang, saya sendiri sedikit menggelikan ketika menonton, mau keluar tapi sayang tiketnya. Itu menjadi penyesalan saya yang kedua.

Beruntung, Film Gundala tertolong oleh efek suara dan sinematografi yang ciamik namun mengagetkan khas Joko Anwar. Beberapa adegan dan efek suara film ini familiar seperti dalam film ”Pengabdi Setan” yang juga garapan Joko Anwar. Lagu “Kelam Manis” pun kembali diperdendangkan dalam Film Gundala yang berbaur dengan kritik urban, seperti film Joko Anwar sebelumnya, “Pintu Terlarang”. Sinematografi dibalut koreografi khas seni bela dari Indonesia, pencak silat dan ditata secara apik oleh Cecep Arif Rahman.

Pemilihan bang Cecep oleh Joko Anwar sangat tepat untuk menata koreografi. Karena tanpa Cecep Arif Rahman, mungkin adegan berkelahi di film ini tidak jauh berbeda dengan sinetron “Anak Langit”, “Anak Jalanan”, “GGS”, dan lainnya. Oleh karena itu pula, saya tidak nyesel-nyesel amat menonton film ini. Walaupun Joko Anwar tidak begitu detail memperlihatkan adegan perkelahian akibat cutting yang cepat, saya tetap suka adegan action di film ini.

Hampir seluruh adegan perkelahian pada Film Gundala berlatar malam hari. Anggota dewan yang dibunuh pun terjadi pada malam hari. Nampaknya ini erat kaitannya dengan realita di tanah air, terutama di kota besar. Kendati film itu tidak jelas menunjukkan nama kotanya, penonton sudah paham bahwa kejahatan di tanah air sering dilakukan di malam hari bisa terepresentasikan dalam film ini. Sayangnya menjelang berakhir, saya kurang fokus pada adegan penutup, karena kebetulan saat itu saya menahan kencing. 

Film Gundala jelas lebih menjual efek dan sinematografi daripada cerita yang sudah terlanjur bocor sebelum rilis. Yang efeknya bisa membuat penonton bosan. Bagusnya, film ini tak hanya fokus pada kepahlawanan Gundala, tapi sarat akan pesan dan kondisi realita di tanah air. Dari mulai pejabat yang mementingkan diri sendiri, krisis moral, hingga hoaks semuanya disentil oleh Joko Anwar. Dikemas dengan gaya film superhero mirip jagad DC Comic dari Hollywood, “The Dark Knight” membuat film ini layak menjadi pilihan.

Film Gundala: Film yang Menjual Efek dan Sinematografi


TELATAHNESIA - Sehari setelah Film Gundala rilis pada 29 Agustus 2019 lalu, saya penasaran dan menjajal untuk menonton mahakarya sutradara Joko Anwar itu. Awalnya saya tidak menyangka kalau film ini akan ditonton banyak orang, bahkan ketika memesan tiket melalui jasa pemesanan tiket online pun tak menunjukkan bahwa Gundala waktu itu akan ditonton banyak orang. 

Saya memilih nonton sekira pukul 19.15 WIB. Keyakinan saya terhadap sepinya penonton kala itu terasa sekitar beberapa jam sebelum Gundala tayang. Di aplikasi pemesanan tiket yang saya gunakan, nampak kursi penonton masih banyak yang kosong. Ajaibnya, saat saya datang ke bioskop sudah banyak orang yang mengantre di depan pintu studio. Betul saja, ketika pintu sudah dibuka, penonton pun semakin bertambah.

Seperti biasa, walaupun di tiket tertera waktu tayang adalah pukul 19.15 WIB, namun film baru ditayangkan sekitar pukul 19.25 WIB. Keterlambatan semacam ini sudah sering saya alami. Tampilan pertama dibuka dengan gambar-gambar para tokoh di Jagad Bumilangit yang memang sudah disiapkan Joko Anwar dan kolega. Rasa-rasanya baru opening scene-nya saja justru mengajak saya untuk tidak memerhatikan cerita dari film yang akan tayang: Gundala, melainkan agar saya penasaran pada film-film berikutnya.

Tak masalah, karena barangkali Film Gundala hanya dijadikan sebagai pemantik oleh sutradaranya agar film-film berikutnya laris, dan tidak terputus di tengah jalan. Saya sudah tidak perlu lagi menjelaskan soal film ini yang diadaptasi dari tokoh ciptaan komikus berbakat asal Indonesia, Harya Suryaminata. Namun yang sedikit saya sesalkan adalah Film Gundala sangat membosankan di awal. Joko Anwar nampaknya lengah dan kurang memerhatikan agar pononton bisa terkesan sejak pada adegan pertama.

Konflik yang disajikan di awal pun sangat klise, hampir tak ada bedanya dengan FTV atau sinetron Indonesia. Permasalahan anak yang ditinggal ibunya, setelah ayahnya mati kembali dipilih Joko Anwar untuk menjadi konflik di awal, walau sangat membosankan ketika ditonton. Kendati Joko Anwar berdalih kalau garis cerita sengaja disesuaikan dengan komiknya. Namun konflik demikian sangat klise, apalagi sang sutradara mengulang-ulang beberapa adegan. 

Menariknya dalam adegan pembuka film dengan penonton 821 ribuan sampai saat ini itu adalah bagaimana Joko Anwar berhasil memperlihatkan permasalahan yang relevan terjadi antara buruh dan pemilik pabrik. Sancaka alias Gundala (Abimana Aryasatya) terlahir dari rahim kaum proletar, ayahnya (Rio Dewanto) adalah buruh yang berdemo menuntut keadilan dari bosnya. Ironisnya, ayah Sancaka malah tewas saat demo hasil hasutan seorang karibnya sendiri. 

Maaf jika saya sedikit spoiler pada tulisan ini, tapi percayalah bahwa konflik klise semacam itu sering kita jumpai. Meskipun saya tak jelaskan secara detail bagaimana konfliknya, kalian pasti tahu kelanjutan dari secuplik spoiler tadi. Yang jelas selepas kematian ayahnya, Sancaka ditinggal ibunya dan hidup mandiri. Pertemuan dengan Awang kecil (Fariz Fajar) pun saya rasa sudah terlihat sejak trailer Film Gundala dirilis. Siapa Awang juga sudah jelas dan tidak perlu lagi dijelaskan, bahkan Bumi Langit dan Joko Anwar sudah membocorkan semua tokoh-tokoh yang akan hadir di Jagad Bumi Langit atau di Film Gundala. 

Karena itu pula film ini jadi tak menarik, bagaimana mungkin kita menonton film tapi sudah tahu garis ceritanya, bahkan sampai ke film berikutnya? Bagi para maniak film superhero tentu walaupun sudah dibocorkan para pemain dan tokoh-tokohnya, pasti tetap akan menonton. Beda dengan saya yang baru kali ini mau mengikuti kiprah para superhero Jagad Bumi Langit. Agak aneh memang, saya sendiri sedikit menggelikan ketika menonton, mau keluar tapi sayang tiketnya. Itu menjadi penyesalan saya yang kedua.

Beruntung, Film Gundala tertolong oleh efek suara dan sinematografi yang ciamik namun mengagetkan khas Joko Anwar. Beberapa adegan dan efek suara film ini familiar seperti dalam film ”Pengabdi Setan” yang juga garapan Joko Anwar. Lagu “Kelam Manis” pun kembali diperdendangkan dalam Film Gundala yang berbaur dengan kritik urban, seperti film Joko Anwar sebelumnya, “Pintu Terlarang”. Sinematografi dibalut koreografi khas seni bela dari Indonesia, pencak silat dan ditata secara apik oleh Cecep Arif Rahman.

Pemilihan bang Cecep oleh Joko Anwar sangat tepat untuk menata koreografi. Karena tanpa Cecep Arif Rahman, mungkin adegan berkelahi di film ini tidak jauh berbeda dengan sinetron “Anak Langit”, “Anak Jalanan”, “GGS”, dan lainnya. Oleh karena itu pula, saya tidak nyesel-nyesel amat menonton film ini. Walaupun Joko Anwar tidak begitu detail memperlihatkan adegan perkelahian akibat cutting yang cepat, saya tetap suka adegan action di film ini.

Hampir seluruh adegan perkelahian pada Film Gundala berlatar malam hari. Anggota dewan yang dibunuh pun terjadi pada malam hari. Nampaknya ini erat kaitannya dengan realita di tanah air, terutama di kota besar. Kendati film itu tidak jelas menunjukkan nama kotanya, penonton sudah paham bahwa kejahatan di tanah air sering dilakukan di malam hari bisa terepresentasikan dalam film ini. Sayangnya menjelang berakhir, saya kurang fokus pada adegan penutup, karena kebetulan saat itu saya menahan kencing. 

Film Gundala jelas lebih menjual efek dan sinematografi daripada cerita yang sudah terlanjur bocor sebelum rilis. Yang efeknya bisa membuat penonton bosan. Bagusnya, film ini tak hanya fokus pada kepahlawanan Gundala, tapi sarat akan pesan dan kondisi realita di tanah air. Dari mulai pejabat yang mementingkan diri sendiri, krisis moral, hingga hoaks semuanya disentil oleh Joko Anwar. Dikemas dengan gaya film superhero mirip jagad DC Comic dari Hollywood, “The Dark Knight” membuat film ini layak menjadi pilihan.

Tidak ada komentar