Halaman

    Social Items

Visit Namina Blog

Oleh : Muhammad Arsyad*

TELATAHNESIA - Belakangan dunia penyiaran Indonesia kembali disentil. Sejak 9 anggota Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang baru saja disahkan DPR RI berencana ikut mengawasi konten digital dari NetFlix, Facebook, dan Youtube. Dengan begitu, KPI mencoba melebarkan sayap pengawasannya tidak hanya untuk televisi dan radio, melainkan juga konten digital. Namun rencana tersebut melenceng dari UU Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran.

UU Nomor 32 Pasal 7 Tahun 2002 jelas menyebut bahwa KPI adalah lembaga negara yang bersifat independen mengatur hal-hal mengenai penyiaran. Sebelumnya juga disebutkan bahwa penyiaran yang dimaksud adalah kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancar, seperti transmisi di darat, laut, dengan menggunakan spektrum frekuensi radio ataupun kabel. Melalui pengertian tersebut, penyiaran merujuk pada dua perangkat siar, yaitu televisi dan radio. Sedangkan NetFlix, Facebook, dan Youtube berada pada jaringan internet, kendati fungsinya mirip. 

Bagi masyarakat yang ingin menikmati layanan NetFlix harus berlangganan terlebih dahulu alias berbayar. Youtube dan Facebook berbeda, kita bisa menikmati kedua layanan tersebut tanpa harus membayar. Namun keduanya bukan penyedia konten, melainkan wadah. Dengan membuat akun secara gratis kita bisa berselancar di linimasa Facebook, bahkan bisa mengirimkan pelbagai konten ke dalamnya. Youtube pun demikian, tetapi untuk streaming video kita tidak membutuhkan akun, berbeda konteksnya jika ingin mengunggah video. Lalu, kenapa KPI masih ingin awasi konten digital di atas?

KPI berdalih bahwa konten digital telah menggunakan ranah publik, dan mereka mengklaim ini sudah menjadi tanggung jawabnya. Ini keliru, karena baik NetFlix, Youtube, maupun Facebook tidak memakai frekuensi sebagaimana yang dijelaskan dalam UU Penyiaran. Meski publik memakai ketiganya, tapi tetap tidaka bisa disamakan dengan televisi dan radio. Apalagi sifat konten digital adalah bebas, semua orang bisa melihat ataupun mengunggah konten di dalamnya. Berbeda dengan radio dan televisi yang memerlukan tahapan-tahapan sebelum konten itu tersajikan, biasanya berkaitan dengan lembaga penyiaran tertentu.  

Regulasi Tumpang Tindih

Keinginan KPI untuk mengawasi konten Netflix, Facebook, dan Youtube selain tidak relevan dengan UU Penyiaran, juga menimbulkan tumpang tindih di sisi regulasi. Karena sebelumnya, konten digital sudah diawasi oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) melalui UU Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Tumpang tindih regulasi ini bisa memantik permasalahan baru. Regulasi yang tumpang tindih akan mempengaruhi kinerja dari keduanya, baik KPI maupun Kemenkominfo. Padahal Sekretaris Kabinet Pramono Anung sendiri mengatakan Indonesia mengalami obesitas regulasi (detiknews.com, 28/11/2018).

Dikatakan Pramono Anung, obesitas regulasi di Indonesia cenderung tumpang tindih, sehingga menciptakan berbagai persoalan. Ia mencontohkan, penyusunan RUU di Indonesia dilakukan melalui banyak pintu, dampaknya memperlambat sinkronisasi. Pemerintah Indonesia sudah melakukan upaya untuk menata agar regulasi di Indonesia tak lagi gemuk. Namun pada kenyataannya, langkah tersebut belum bisa mengatasi persoalan regulasi yang semakin kompleks.

Hasrat KPI untuk merevisi UU Penyiaran jelas akan memperburuk regulasi di Indonesia. Selain tumpang tindih, regulasi tentang penyiaran dan konten digital semakin tidak tertata. Ditambah KPI harus mengubah definisi penyiaran dalam UU Penyiaran, dan Kemenkominfo juga wajib merevisi makna informasi dan transaksi elektronik dalam UU ITE. Ini sangat merepotkan dan membutuhkan waktu yang tidak sebentar.

Kinerja Buruk KPI  

Protes khalayak terkait rencana KPI mengawasi konten digital juga disebabkan karena KPI dianggap belum baik dalam menangani masalah penyiaran. Tengok saja acara yang tiap hari tersaji di layar televisi kita. Dari mulai sinetron yang mengabaikan rasional, acara komedi yang sarat unsur penghinaan dan pelecehan, serta konten berita bernuansa politis, semua hilir mudik di layar kaca. Belum lagi masifnya iklan yang sering abai terhadap Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS). Semua itu kerap luput dalam pengawasan KPI.

Kita tahu komisioner KPI dipilih oleh DPR, alhasil membuat kinerja KPI rentan disusupi kepentingan politis. Tentu dalam hal ini DPR mudah sekali untuk ikut andil dalam ekosistem kerja di KPI sendiri. Terbukti pada pemilihan komisioner KPI kemarin.  Ada 9 komisioner KPI yang terpilih dan diangkat oleh DPR, tetapi pemilihan tersebut bermasalah.
Ombudsman RI melalui website resminya, ombudsman.go.id menilai ada dugaan maladministrasi pada pemilihan komisioner KPI. Dalam laporan ombudsman, pemilihan 9 komisioner KPI yang dilakukan DPR diduga cacat prosedur. Artinya sebelum ditetapkan 9 komisioner, banyak calon yang dinilai tidak memenuhi klasifikasi bisa lolos seleksi administratif. Ironisnya permasalahan ini bukan pertama kali terjadi.

Tahun 2014 pemilihan komisoner KPI juga bermasalah. Tempo pernah membuat laporan investigasi berjudul “Seleksi Serampangan Punggawa Penyiaran” tahun 2014. Laporan itu menulis kecacatan prosedur pemilihan sudah pernah terjadi lima tahun lalu. Sebelum 2019 banyak komisioner yang lolos administrasi, meski tidak memiliki track record baik di bidang penyiaran. Peneliti Remotivi, Fariz Dzaki mencontohkan diantaranya Susaningtyas Kertopati, politisi Hanura yang dekat dengan  MNC Grup, dan Agus Gumiwan Kartasasmita dari Partai Golkar yang berafiliasi dengan Bakrie Grup pemilik ANTV dan TVOne.

Pengawasan terhadap konten penyiaran (televisi dan radio) yang dilakukan KPI masih lemah, bahkan cenderung populis. Maknanya, KPI akan bertindak bergantung pada seberapa viral kasusnya. Saat terjadi kasus di dunia penyiaran, KPI lebih sering menggunakan pendekatan persuasif lewat teguran-teguran yang sifatnya lunak terhadap para pelanggar. Jarang kita melihat KPI melakukan tindakan preventif dan teguran yang sifatnya lebih tegas. Kinerja KPI ini mirip seperti petugas fogging.

Walau bagaimana, kita tetap harus menghormati dan mengapresiasi terobosan KPI untuk mengawasi konten NetFlix, Youtube, dan Facebook. Sewajarnya kita juga perlu mendukung rencana tersebut, asalkan kebijakan itu tidak memunculkan masalah baru. Namun yang terjadi adalah, belum juga kebijakan tersebut diketok palu, pelbagai persoalan malah muncul di hadapan kita. Tumpang tindih regulasi dan prestasi buruk KPI menjadi dua masalah yang muncul di muka, dan bisa saja menciptakan deretan masalah-masalah berikutnya. KPI semestinya sadar kalau rencana mereka mengawasi konten digital sangat berisiko dan tidak pantas.

*) Penulis adalah mahasiswa IAIN Pekalongan.

Pantaskah KPI Awasi Konten Digital?


Oleh : Muhammad Arsyad*

TELATAHNESIA - Belakangan dunia penyiaran Indonesia kembali disentil. Sejak 9 anggota Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang baru saja disahkan DPR RI berencana ikut mengawasi konten digital dari NetFlix, Facebook, dan Youtube. Dengan begitu, KPI mencoba melebarkan sayap pengawasannya tidak hanya untuk televisi dan radio, melainkan juga konten digital. Namun rencana tersebut melenceng dari UU Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran.

UU Nomor 32 Pasal 7 Tahun 2002 jelas menyebut bahwa KPI adalah lembaga negara yang bersifat independen mengatur hal-hal mengenai penyiaran. Sebelumnya juga disebutkan bahwa penyiaran yang dimaksud adalah kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancar, seperti transmisi di darat, laut, dengan menggunakan spektrum frekuensi radio ataupun kabel. Melalui pengertian tersebut, penyiaran merujuk pada dua perangkat siar, yaitu televisi dan radio. Sedangkan NetFlix, Facebook, dan Youtube berada pada jaringan internet, kendati fungsinya mirip. 

Bagi masyarakat yang ingin menikmati layanan NetFlix harus berlangganan terlebih dahulu alias berbayar. Youtube dan Facebook berbeda, kita bisa menikmati kedua layanan tersebut tanpa harus membayar. Namun keduanya bukan penyedia konten, melainkan wadah. Dengan membuat akun secara gratis kita bisa berselancar di linimasa Facebook, bahkan bisa mengirimkan pelbagai konten ke dalamnya. Youtube pun demikian, tetapi untuk streaming video kita tidak membutuhkan akun, berbeda konteksnya jika ingin mengunggah video. Lalu, kenapa KPI masih ingin awasi konten digital di atas?

KPI berdalih bahwa konten digital telah menggunakan ranah publik, dan mereka mengklaim ini sudah menjadi tanggung jawabnya. Ini keliru, karena baik NetFlix, Youtube, maupun Facebook tidak memakai frekuensi sebagaimana yang dijelaskan dalam UU Penyiaran. Meski publik memakai ketiganya, tapi tetap tidaka bisa disamakan dengan televisi dan radio. Apalagi sifat konten digital adalah bebas, semua orang bisa melihat ataupun mengunggah konten di dalamnya. Berbeda dengan radio dan televisi yang memerlukan tahapan-tahapan sebelum konten itu tersajikan, biasanya berkaitan dengan lembaga penyiaran tertentu.  

Regulasi Tumpang Tindih

Keinginan KPI untuk mengawasi konten Netflix, Facebook, dan Youtube selain tidak relevan dengan UU Penyiaran, juga menimbulkan tumpang tindih di sisi regulasi. Karena sebelumnya, konten digital sudah diawasi oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) melalui UU Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Tumpang tindih regulasi ini bisa memantik permasalahan baru. Regulasi yang tumpang tindih akan mempengaruhi kinerja dari keduanya, baik KPI maupun Kemenkominfo. Padahal Sekretaris Kabinet Pramono Anung sendiri mengatakan Indonesia mengalami obesitas regulasi (detiknews.com, 28/11/2018).

Dikatakan Pramono Anung, obesitas regulasi di Indonesia cenderung tumpang tindih, sehingga menciptakan berbagai persoalan. Ia mencontohkan, penyusunan RUU di Indonesia dilakukan melalui banyak pintu, dampaknya memperlambat sinkronisasi. Pemerintah Indonesia sudah melakukan upaya untuk menata agar regulasi di Indonesia tak lagi gemuk. Namun pada kenyataannya, langkah tersebut belum bisa mengatasi persoalan regulasi yang semakin kompleks.

Hasrat KPI untuk merevisi UU Penyiaran jelas akan memperburuk regulasi di Indonesia. Selain tumpang tindih, regulasi tentang penyiaran dan konten digital semakin tidak tertata. Ditambah KPI harus mengubah definisi penyiaran dalam UU Penyiaran, dan Kemenkominfo juga wajib merevisi makna informasi dan transaksi elektronik dalam UU ITE. Ini sangat merepotkan dan membutuhkan waktu yang tidak sebentar.

Kinerja Buruk KPI  

Protes khalayak terkait rencana KPI mengawasi konten digital juga disebabkan karena KPI dianggap belum baik dalam menangani masalah penyiaran. Tengok saja acara yang tiap hari tersaji di layar televisi kita. Dari mulai sinetron yang mengabaikan rasional, acara komedi yang sarat unsur penghinaan dan pelecehan, serta konten berita bernuansa politis, semua hilir mudik di layar kaca. Belum lagi masifnya iklan yang sering abai terhadap Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS). Semua itu kerap luput dalam pengawasan KPI.

Kita tahu komisioner KPI dipilih oleh DPR, alhasil membuat kinerja KPI rentan disusupi kepentingan politis. Tentu dalam hal ini DPR mudah sekali untuk ikut andil dalam ekosistem kerja di KPI sendiri. Terbukti pada pemilihan komisioner KPI kemarin.  Ada 9 komisioner KPI yang terpilih dan diangkat oleh DPR, tetapi pemilihan tersebut bermasalah.
Ombudsman RI melalui website resminya, ombudsman.go.id menilai ada dugaan maladministrasi pada pemilihan komisioner KPI. Dalam laporan ombudsman, pemilihan 9 komisioner KPI yang dilakukan DPR diduga cacat prosedur. Artinya sebelum ditetapkan 9 komisioner, banyak calon yang dinilai tidak memenuhi klasifikasi bisa lolos seleksi administratif. Ironisnya permasalahan ini bukan pertama kali terjadi.

Tahun 2014 pemilihan komisoner KPI juga bermasalah. Tempo pernah membuat laporan investigasi berjudul “Seleksi Serampangan Punggawa Penyiaran” tahun 2014. Laporan itu menulis kecacatan prosedur pemilihan sudah pernah terjadi lima tahun lalu. Sebelum 2019 banyak komisioner yang lolos administrasi, meski tidak memiliki track record baik di bidang penyiaran. Peneliti Remotivi, Fariz Dzaki mencontohkan diantaranya Susaningtyas Kertopati, politisi Hanura yang dekat dengan  MNC Grup, dan Agus Gumiwan Kartasasmita dari Partai Golkar yang berafiliasi dengan Bakrie Grup pemilik ANTV dan TVOne.

Pengawasan terhadap konten penyiaran (televisi dan radio) yang dilakukan KPI masih lemah, bahkan cenderung populis. Maknanya, KPI akan bertindak bergantung pada seberapa viral kasusnya. Saat terjadi kasus di dunia penyiaran, KPI lebih sering menggunakan pendekatan persuasif lewat teguran-teguran yang sifatnya lunak terhadap para pelanggar. Jarang kita melihat KPI melakukan tindakan preventif dan teguran yang sifatnya lebih tegas. Kinerja KPI ini mirip seperti petugas fogging.

Walau bagaimana, kita tetap harus menghormati dan mengapresiasi terobosan KPI untuk mengawasi konten NetFlix, Youtube, dan Facebook. Sewajarnya kita juga perlu mendukung rencana tersebut, asalkan kebijakan itu tidak memunculkan masalah baru. Namun yang terjadi adalah, belum juga kebijakan tersebut diketok palu, pelbagai persoalan malah muncul di hadapan kita. Tumpang tindih regulasi dan prestasi buruk KPI menjadi dua masalah yang muncul di muka, dan bisa saja menciptakan deretan masalah-masalah berikutnya. KPI semestinya sadar kalau rencana mereka mengawasi konten digital sangat berisiko dan tidak pantas.

*) Penulis adalah mahasiswa IAIN Pekalongan.

Tidak ada komentar